Sopiah
Sunday, November 29, 2015Wik wiiik wiiik…
“Ah, burung itu lagi!” begitu saja ia terbangun dari tidurnya, “siapa kiranya yang hendak ia teriakkan namanya? Akukah?”
Di usia ke-70-nya ia masih merasa sangat muda, bersemangat, dan angkuh. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah disisir itu sudah putih semua, malah giginya yang pada menghitam. Sumi, cucunya, selalu menutup hidung manakala bertemu atau tak sengaja berpapasan dengan si nenek. Si nenek akan mengucapkan kata-kata yang tak sama sekali dimengerti Sumi. Sumi menunjukan kerutan-kerutan di keningnya yang kecoklat-coklatan sepulang meladang sambil mengkomat-kamitkan mulutnya ke arah si tua di depannya, lalu membopongnya ke dalam rumah. Tentu saja, si nenek akan tak suka. Jelas ia merasa dirinya kuat berjalan sendiri. Sambil merangkak bagaikan bayi yang belajar berjalan; bangkit, jatuh, bangkit, jatuh begitu saja seterusnya, si nenek –yang kemudian diketahui bernama Sopiah—ini merangkak menuju tangga demi tangga kediaman Sumi. Tempat favoritnya itu.
Sumi berdiam di sebuah rumah kontrakan di perbatasan kampung. Perbatasan kampung yang indah, tentu saja. Tempat ter-asri di kampung itu. Sepi, sunyi, menenangkan, sumber penghidupan. Dibatasi oleh dua tanjakan dan turunan di kedua hadapnya, tempat itu dulunya tebing. Sekarang sudah dipenuhi rumah-rumah. Kontrakan sumi sendiri menghadap jalan besar yang merupakan satu-satunya akses menuju kota. Kita harus berjalan sekitar 3 km untuk mencapai jalan raya dan menemui angkutan-angkutan kota berseliweran. Beberapa tahun lalu pernah ada angkutan kota juga dengan rute komplek yang dibangun di kaki gunung Palayang menuju jalan raya. tapi desas-desus mengatakan angkot itu dikecam para tukang ojek karena dirasai penghasilan mereka jadi semakin berkurang. Kurang ajarnya, para tukang ojek itu memasang tarif yang lumayan mahal dan malah kadang-kadang tak kunjung mangkal bahkan tak ada sama sekali ketika dibutuhkan. Anak sulung Sumi suka uring-uringan sendiri bila tak ditemukannya tukang ojek satu pun dan ia sudah terlambat ke sekolah. Anak jaman sekarang mana mau jalan kaki 3 km, akhirnya, ya merengek-rengeklah ia minta dibelikan motor sebab semua teman-temannya sudah punya kendaraan masing-masing, keluhnya.
Di seberang jalan, tepat di depan rumah Sumi itu, beberapa bidang sawah berpetak-petak, kolam, juga kebun singkong dan sayur-sayuran lainnya menawarkan warna-warna yang mamanjakan penglihatan sesiapapun. Sopiah senang sekali menikmati pemandangan hamparan kebun jagung di hadapannya itu, meski Sumi berkali-kali bilang itu bukan kebun jangung, sebab sudah bertahun-tahun lamanya kebun itu berganti jadi kebun singkong. Dan Sopiah akan memelototinya, Sumi menganggap diri ini sudah pikun, pikirnya. Di mata Sopiah, hamparan hijau itu tetaplah kebun jagung. Kebun jagung miliknya.
Sopiah masih merangkak-rangkak di kaki tangga. Jemarinya terus saja terpeleset mana kala menyentuh batu-batu tangga kasar itu. Sumi terus saja mengomel menawarkan bantuan padanya, tetap saja ia tak mau. Sumi kesal juga melihatnya, pegal juga mematung menunggu usaha Sopiah menaiki tangga itu yang berakhir nihil. Bagai Sisipus, pikirnya. Sumi marah-marah. Oh, cucu kurang ajar itu! bentak Sopiah dalam hati sambil memandang Sumi dengan tatapan kosong dan jemarinya telah berhenti digerakan. Sejenak tubuh berbungkus kulit peot itu mematung, Bokongnnya tak berhasil diangkatnya. Saat itulah Sumi tahu neneknya itu tengah marah. Sumi berhenti mengomel. Dibawanya sapu lidi di depan pagar rumahnya. Tangannya menyapu halaman kontrakan yang telah disapunya tadi sebelum akan meladang yang kini berbau pesing sebab sang nenek telah meninggalkan air kencing dan tahinya di sana.
Sopiah memandang jauh kebun jagungnya yang sekarang berubah jadi kebun singkong itu. Tahu-tahu dia sudah duduk di anak tangga paling atas saja, namun pandangannya tak melihat apa-apa yang ada di depannya sama sekali. Burung Uncuing kembali meneriakkan kepiluannya. Mengiringi Sopiah kedalam lamunannya. Wik wiiik wiiiik…
Tujuh puluh tahun di Pasir Biru—sebuah kampung di Pulau Jawa, bisa dibilang angka yang mustahil seorang manusia telah begitu saja mengalami kepikunan. Usia itu masih terbilang belum cukup tua. Seorang tua yang kemarin saja meninggal usianya sudah mencapai 150 tahun, masih juga ditangisi anggota keluarga karena tak rela salah satu anggotanya diambil. Lain kasus dengan Sopiah, si tua yang kematiannya sudah sangat ditunggu-tunggu anggota keluarganya itu malah tak kunjung-kunjung dicabut nyawanya. Betapa tidak, otaknya sudah pikun, kakinya sudah kaku, mulutnya tak bisa mengucapkan sepatah pun yang bisa manusia mengerti, bahkan untuk buang hajat saja ia sudah tak sanggup, pempers yang selalu dipakainya juga sudah tak sanggup terbeli lagi oleh keluarganya. Marni, bungsunya, bahkan malu ber-ibu Sopiah ketika suatu hari diketahuinyalah Sopiah mencuri keripik singkong pedas di warung Bu Ikin –warung langganan Marni.
“Bu Marni ini bagaimana, Ibu sendiri kok dibiarin jalan-jalan sendiri gitu, wong udah tua, pikun gitu juga mestinya dibiarin diem di rumah aja kelees!” kata si empunya warung setelah menceritakan ihwal cerita dagangannya dicuri si tua.
Tak jelas juga Marni malu karena punya Ibu yang sudah pikun, atau malu karena kini jadinya para tetangga menganggap Marni tak becus mengurusi Ibunya sendiri. Terlebih, Bu Ikin itu terkenal si biang gossip sekampung. Dan, terang saja, Sopiah akan dimakinya habis-habisan sepulang dari warung itu.
Berbagai spekulasi berkembang di masyarakat ihwal si tua Sopiah yang harusnya belum boleh pikun dan renta di usianya kini. “Pasti sewaktu mudanya ia jarang ibadah!” kata ibu-ibu yang berambut panjang diikat buntut kuda, “Kurang sedekah tuh selama hidupnya!” kata seorang lagi, “Bedain dong sama si Emak Mumun, dia udah seratus tahun masih seger buger, duit banyak, gak bakal aturan keripik singkong doang pake maling!” ucap satunya, “Lah wong si Emak Mumun itu kan gak pernah absen solat jamaah di masjid, pastilah dipanjangin umurnya sama Allah. Mukanya aja cerah, terang, bersinar, gak kaya Emak Sopiah, kusam, lusuh, item, dekil, bau pesing lagi. Hih!” ucap ibu-ibu yang berjilbab menutupi kedua tangannya itu panjang lebar. Begitulah, perbincangan tentang Sopiah bukan hanya milik ibu-ibu kampung, anak-anak muda pun dibuat kesal juga oleh ulah Sopiah ketika suatu ketika dipukulnya salah satu anak muda itu dengan batang singkong yang dipungutnya entah dari mana. Terang saja anak muda yang kerjaannya kalau tidak nongkrong sambil sambil ngopi atau merokok, ya nyanyi-nyayi sambil mainin gitar, atau ngoprek-ngoprek mesin motor yang akan membuat seluruh penghuni kampung ketulian karenanya itu naik pitam,”Kalau bukan nenek-nenek pikun geus aing hajar siah maneh! Pergi siah!”
Pun bocah-bocah kampung yang mulai melihat Sopiah sebagai tontonan bahkan hiburan ketika suatu siang dilihatnyalah Sopiah melambai-lambaikan sebelah tangannya yang lemah itu ke atas, bermaksud meminta pertolongan tersebab seluruh tubuhnya jatuh ke dalam selokan yang untung tidak dalam-dalam amat itu. Bocah-bocah yang sudah syukur di sekolahkan di SD itu jelas hanya menertawakan Sopiah yang lemah terhuyung-huyung sambil meminta tolong dengan kata-kata yang hanya ia saja yang mengerti artinya, yang bila terdengar oleh telinga manusia mungkin bunyinya akan seperti ini “rrrrhh… rrhhh… mhhhn..” begitulah, tak ada satu pun yang mengerti bahasa Sopiah yang entah dimulai kapan bahasanya jadi seperti itu.
***
Sumi membangunkan Sopiah dari lamunannya ketika dilihatnya sang nenek seperti mengantuk dan seperti akan tersungkur bahkan saat ia sedang melamun seperti itu sekalipun. Sang nenek tak seperti biasanya saat itu menatap Sumi dengan tatapan yang ganjil, Sumi heran dan gugup juga dibuatnya. Lama sekali si tua itu menatapnya, Sumi semakin tegang. Dibopongnya Sopiah ke kediamannya yang tak jauh dari rumahnya itu, Sopiah, seperti biasa akan meronta-ronta menolak untuk dibopong, malah akan tertatih-tatih menantang dirinya sendiri, menunjukan kepada cucunya itu bahwa dirinya bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Selangkah dua langkah yang tersendat-sendat ia bisa berjalan, langkah berikutnya ia terkulai lemah dan terjatuh, Sumi menolong, namun ditepisnyalah kedua tangan yang menggapai tubuhnya itu. ia mencoba berdiri lagi dengan kedua tangan menggapai-gapai pinggiran pagar rumah orang-orang –seperti biasa ia lakukan sampai ia sampai ke rumahnya sendiri. Sumi tidak bisa lain dari membiarkan saja, dan masuk ke rumahnya menyuapi anaknya untuk makan.
Esoknya Sumi menyempatkan untuk datang saja dulu ke rumah neneknya itu dengan dalih mengantarkan pisang goreng dan teh manis kesukaannya sewaktu belum pikun dulu, begitu saja ia ingin memberi neneknya kesemua itu. Sopiah tersenyum, memamerkan gigi hitamnya yang busuk. Ah, senyum itu. Ya, senyum itu! persis beberapa tahun yang lalu pernah terekam indera penglihatannya, begitu manis, tenang dan iklas dengan mata berbinar-binar. Hanya saja yang membedakan mungkin hanya deretan gigi yang menghitam bahkan sudah sebagian hilang entah ke mana.
Sumi pamit, diciuminya punggung tangan peot Sopiah seakan hari itu adalah hari terakhir ia melihatnya perempuan pikun itu, lalu pergi ke sekolah anak sulungnya yang hari itu akan diluluskan dari sekolah SMA-nya di daerah pusat kota dengan menaiki angkot beberapa kali. Dan turunlah ia di alun-alun kota yang katanya baru direnovasi itu. Ah, ingin juga ia berfoto-foto seperti orang-orang yang ada disana itu, lah kamera pun aku tak punya, pikirnya. Maka takjublah ia dengan kehidupan luar kampung yang telah berbeda sama sekali di hadapannya itu, pantas sulungnya itu tak betah berlama-lama berada di kontrakan bobroknya di kampung, tersebab mana pula ada manusia yang rela tak menikmati keindahan tempat gemerlap yang gersang dan bau asap seperti ini. Ketika hendak menyeberangi jalan, dilihatnya seorang nenek maju-mundur di tepi jalan, mungkin akan menyeberang si nenek itu, pikirnya. Diajaknyalah nenek itu menyeberangi jalan yang ramainya bagai lomba 17-Agustusan di kampunya itu. Tak henti-hentinya si nenek yang di tangan kirinya membawa lembaran majalah Go Girl itu mengucap syukur dan berterimakasih telah diseberangkan oleh Sumi. Sambil menyalami Sumi, nenek itu berkata, yang kupikir kata-kata itu berulang kali dibunyikannya, “hatur nuhun nak, kalau tidak ada kalian mungkin saya sampai bedug magrib tetap mematung di seberang jalan itu.”, sambil tersenyum Sumi berkata “sama-sama nek, hati-hati ya nek.” si nenek tak mau kalah mendoakan “Semoga selamat sampai tujuan, semoga dilancarkan rezekinya, hati-hati di jalan ya neng, semoga Allah membalas kebaikan eneng.” tambah nenek itu sambil mengelus-elus pundak Sumi sambil berlalu. Sumi mengamini, begitu saja Sumi teringat neneknya di kampung; Mak Sopiah. Terlebih didengarnya tadi pagi si Uncuing menyanyikan kepiluannya selepas adzan Shubuh. Juga perkataan kemarin sore di warung “Wah, manuk Uncuing itu berasa sering banget bunyi ya, ngeri banget suaranya, siapa ya yang bakal meninggal, itu kan burung pembawa pertanda..” tiba-tiba saja Sumi merasa perkataan itu ditujukan padanya, mengingat neneknyalah satu-satunya warga yang diprediksi riwayatnya sudah tinggal menghitung hari itu, “Hush! Ibu Ikin ini, burung kok ya disamain kayak malaikat pencabut nyawa!”
Semenit kemudian handphone-ku berdering, pada layarnya tertulis nama “Ibu” –ini sms dari Marni. Isinya kira-kira begini: “Cep, tolong kabari istrimu, anakmu baru saja meninggal. Jenazahnya baru tiba 15 menit yang lalu, diantarkan ambulan. Kecelakaan lalu lintas. Sing tabah ya.” Terang saja istriku tak bisa menahan emosinya, ia menangis sejadi-jadinya hingga pingsan di alun-alun itu. kusewa angkot dan diantarlah kami sampai kampung.
Di sana, tepat di samping tubuh yang anggota badannya sudah tak berada di tempatnya lagi itu, jenazah Toni, putra sulung kami, duduklah Sopiah. Si tua itu! ia sedang mendoakan anak sulung kebanggaan kami itu menuju peristirahannya, tentu dengan doa yang kata-katanya hanya ialah yang tahu. Sekilas ingatanku berkelebat akan bayangan-bayangan kebun jagungnya yang terpaksa kami jual demi membeli sepeda motor untuk sulung kami. Tanpa sadar mulutku berucap, benarkah ia sudah pikun, si tua itu? []
Cileunyi, 14 Juli 2015
“Ah, burung itu lagi!” begitu saja ia terbangun dari tidurnya, “siapa kiranya yang hendak ia teriakkan namanya? Akukah?”
Di usia ke-70-nya ia masih merasa sangat muda, bersemangat, dan angkuh. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah disisir itu sudah putih semua, malah giginya yang pada menghitam. Sumi, cucunya, selalu menutup hidung manakala bertemu atau tak sengaja berpapasan dengan si nenek. Si nenek akan mengucapkan kata-kata yang tak sama sekali dimengerti Sumi. Sumi menunjukan kerutan-kerutan di keningnya yang kecoklat-coklatan sepulang meladang sambil mengkomat-kamitkan mulutnya ke arah si tua di depannya, lalu membopongnya ke dalam rumah. Tentu saja, si nenek akan tak suka. Jelas ia merasa dirinya kuat berjalan sendiri. Sambil merangkak bagaikan bayi yang belajar berjalan; bangkit, jatuh, bangkit, jatuh begitu saja seterusnya, si nenek –yang kemudian diketahui bernama Sopiah—ini merangkak menuju tangga demi tangga kediaman Sumi. Tempat favoritnya itu.
Sumi berdiam di sebuah rumah kontrakan di perbatasan kampung. Perbatasan kampung yang indah, tentu saja. Tempat ter-asri di kampung itu. Sepi, sunyi, menenangkan, sumber penghidupan. Dibatasi oleh dua tanjakan dan turunan di kedua hadapnya, tempat itu dulunya tebing. Sekarang sudah dipenuhi rumah-rumah. Kontrakan sumi sendiri menghadap jalan besar yang merupakan satu-satunya akses menuju kota. Kita harus berjalan sekitar 3 km untuk mencapai jalan raya dan menemui angkutan-angkutan kota berseliweran. Beberapa tahun lalu pernah ada angkutan kota juga dengan rute komplek yang dibangun di kaki gunung Palayang menuju jalan raya. tapi desas-desus mengatakan angkot itu dikecam para tukang ojek karena dirasai penghasilan mereka jadi semakin berkurang. Kurang ajarnya, para tukang ojek itu memasang tarif yang lumayan mahal dan malah kadang-kadang tak kunjung mangkal bahkan tak ada sama sekali ketika dibutuhkan. Anak sulung Sumi suka uring-uringan sendiri bila tak ditemukannya tukang ojek satu pun dan ia sudah terlambat ke sekolah. Anak jaman sekarang mana mau jalan kaki 3 km, akhirnya, ya merengek-rengeklah ia minta dibelikan motor sebab semua teman-temannya sudah punya kendaraan masing-masing, keluhnya.
Di seberang jalan, tepat di depan rumah Sumi itu, beberapa bidang sawah berpetak-petak, kolam, juga kebun singkong dan sayur-sayuran lainnya menawarkan warna-warna yang mamanjakan penglihatan sesiapapun. Sopiah senang sekali menikmati pemandangan hamparan kebun jagung di hadapannya itu, meski Sumi berkali-kali bilang itu bukan kebun jangung, sebab sudah bertahun-tahun lamanya kebun itu berganti jadi kebun singkong. Dan Sopiah akan memelototinya, Sumi menganggap diri ini sudah pikun, pikirnya. Di mata Sopiah, hamparan hijau itu tetaplah kebun jagung. Kebun jagung miliknya.
Sopiah masih merangkak-rangkak di kaki tangga. Jemarinya terus saja terpeleset mana kala menyentuh batu-batu tangga kasar itu. Sumi terus saja mengomel menawarkan bantuan padanya, tetap saja ia tak mau. Sumi kesal juga melihatnya, pegal juga mematung menunggu usaha Sopiah menaiki tangga itu yang berakhir nihil. Bagai Sisipus, pikirnya. Sumi marah-marah. Oh, cucu kurang ajar itu! bentak Sopiah dalam hati sambil memandang Sumi dengan tatapan kosong dan jemarinya telah berhenti digerakan. Sejenak tubuh berbungkus kulit peot itu mematung, Bokongnnya tak berhasil diangkatnya. Saat itulah Sumi tahu neneknya itu tengah marah. Sumi berhenti mengomel. Dibawanya sapu lidi di depan pagar rumahnya. Tangannya menyapu halaman kontrakan yang telah disapunya tadi sebelum akan meladang yang kini berbau pesing sebab sang nenek telah meninggalkan air kencing dan tahinya di sana.
Sopiah memandang jauh kebun jagungnya yang sekarang berubah jadi kebun singkong itu. Tahu-tahu dia sudah duduk di anak tangga paling atas saja, namun pandangannya tak melihat apa-apa yang ada di depannya sama sekali. Burung Uncuing kembali meneriakkan kepiluannya. Mengiringi Sopiah kedalam lamunannya. Wik wiiik wiiiik…
Tujuh puluh tahun di Pasir Biru—sebuah kampung di Pulau Jawa, bisa dibilang angka yang mustahil seorang manusia telah begitu saja mengalami kepikunan. Usia itu masih terbilang belum cukup tua. Seorang tua yang kemarin saja meninggal usianya sudah mencapai 150 tahun, masih juga ditangisi anggota keluarga karena tak rela salah satu anggotanya diambil. Lain kasus dengan Sopiah, si tua yang kematiannya sudah sangat ditunggu-tunggu anggota keluarganya itu malah tak kunjung-kunjung dicabut nyawanya. Betapa tidak, otaknya sudah pikun, kakinya sudah kaku, mulutnya tak bisa mengucapkan sepatah pun yang bisa manusia mengerti, bahkan untuk buang hajat saja ia sudah tak sanggup, pempers yang selalu dipakainya juga sudah tak sanggup terbeli lagi oleh keluarganya. Marni, bungsunya, bahkan malu ber-ibu Sopiah ketika suatu hari diketahuinyalah Sopiah mencuri keripik singkong pedas di warung Bu Ikin –warung langganan Marni.
“Bu Marni ini bagaimana, Ibu sendiri kok dibiarin jalan-jalan sendiri gitu, wong udah tua, pikun gitu juga mestinya dibiarin diem di rumah aja kelees!” kata si empunya warung setelah menceritakan ihwal cerita dagangannya dicuri si tua.
Tak jelas juga Marni malu karena punya Ibu yang sudah pikun, atau malu karena kini jadinya para tetangga menganggap Marni tak becus mengurusi Ibunya sendiri. Terlebih, Bu Ikin itu terkenal si biang gossip sekampung. Dan, terang saja, Sopiah akan dimakinya habis-habisan sepulang dari warung itu.
Berbagai spekulasi berkembang di masyarakat ihwal si tua Sopiah yang harusnya belum boleh pikun dan renta di usianya kini. “Pasti sewaktu mudanya ia jarang ibadah!” kata ibu-ibu yang berambut panjang diikat buntut kuda, “Kurang sedekah tuh selama hidupnya!” kata seorang lagi, “Bedain dong sama si Emak Mumun, dia udah seratus tahun masih seger buger, duit banyak, gak bakal aturan keripik singkong doang pake maling!” ucap satunya, “Lah wong si Emak Mumun itu kan gak pernah absen solat jamaah di masjid, pastilah dipanjangin umurnya sama Allah. Mukanya aja cerah, terang, bersinar, gak kaya Emak Sopiah, kusam, lusuh, item, dekil, bau pesing lagi. Hih!” ucap ibu-ibu yang berjilbab menutupi kedua tangannya itu panjang lebar. Begitulah, perbincangan tentang Sopiah bukan hanya milik ibu-ibu kampung, anak-anak muda pun dibuat kesal juga oleh ulah Sopiah ketika suatu ketika dipukulnya salah satu anak muda itu dengan batang singkong yang dipungutnya entah dari mana. Terang saja anak muda yang kerjaannya kalau tidak nongkrong sambil sambil ngopi atau merokok, ya nyanyi-nyayi sambil mainin gitar, atau ngoprek-ngoprek mesin motor yang akan membuat seluruh penghuni kampung ketulian karenanya itu naik pitam,”Kalau bukan nenek-nenek pikun geus aing hajar siah maneh! Pergi siah!”
Pun bocah-bocah kampung yang mulai melihat Sopiah sebagai tontonan bahkan hiburan ketika suatu siang dilihatnyalah Sopiah melambai-lambaikan sebelah tangannya yang lemah itu ke atas, bermaksud meminta pertolongan tersebab seluruh tubuhnya jatuh ke dalam selokan yang untung tidak dalam-dalam amat itu. Bocah-bocah yang sudah syukur di sekolahkan di SD itu jelas hanya menertawakan Sopiah yang lemah terhuyung-huyung sambil meminta tolong dengan kata-kata yang hanya ia saja yang mengerti artinya, yang bila terdengar oleh telinga manusia mungkin bunyinya akan seperti ini “rrrrhh… rrhhh… mhhhn..” begitulah, tak ada satu pun yang mengerti bahasa Sopiah yang entah dimulai kapan bahasanya jadi seperti itu.
***
Sumi membangunkan Sopiah dari lamunannya ketika dilihatnya sang nenek seperti mengantuk dan seperti akan tersungkur bahkan saat ia sedang melamun seperti itu sekalipun. Sang nenek tak seperti biasanya saat itu menatap Sumi dengan tatapan yang ganjil, Sumi heran dan gugup juga dibuatnya. Lama sekali si tua itu menatapnya, Sumi semakin tegang. Dibopongnya Sopiah ke kediamannya yang tak jauh dari rumahnya itu, Sopiah, seperti biasa akan meronta-ronta menolak untuk dibopong, malah akan tertatih-tatih menantang dirinya sendiri, menunjukan kepada cucunya itu bahwa dirinya bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Selangkah dua langkah yang tersendat-sendat ia bisa berjalan, langkah berikutnya ia terkulai lemah dan terjatuh, Sumi menolong, namun ditepisnyalah kedua tangan yang menggapai tubuhnya itu. ia mencoba berdiri lagi dengan kedua tangan menggapai-gapai pinggiran pagar rumah orang-orang –seperti biasa ia lakukan sampai ia sampai ke rumahnya sendiri. Sumi tidak bisa lain dari membiarkan saja, dan masuk ke rumahnya menyuapi anaknya untuk makan.
Esoknya Sumi menyempatkan untuk datang saja dulu ke rumah neneknya itu dengan dalih mengantarkan pisang goreng dan teh manis kesukaannya sewaktu belum pikun dulu, begitu saja ia ingin memberi neneknya kesemua itu. Sopiah tersenyum, memamerkan gigi hitamnya yang busuk. Ah, senyum itu. Ya, senyum itu! persis beberapa tahun yang lalu pernah terekam indera penglihatannya, begitu manis, tenang dan iklas dengan mata berbinar-binar. Hanya saja yang membedakan mungkin hanya deretan gigi yang menghitam bahkan sudah sebagian hilang entah ke mana.
Sumi pamit, diciuminya punggung tangan peot Sopiah seakan hari itu adalah hari terakhir ia melihatnya perempuan pikun itu, lalu pergi ke sekolah anak sulungnya yang hari itu akan diluluskan dari sekolah SMA-nya di daerah pusat kota dengan menaiki angkot beberapa kali. Dan turunlah ia di alun-alun kota yang katanya baru direnovasi itu. Ah, ingin juga ia berfoto-foto seperti orang-orang yang ada disana itu, lah kamera pun aku tak punya, pikirnya. Maka takjublah ia dengan kehidupan luar kampung yang telah berbeda sama sekali di hadapannya itu, pantas sulungnya itu tak betah berlama-lama berada di kontrakan bobroknya di kampung, tersebab mana pula ada manusia yang rela tak menikmati keindahan tempat gemerlap yang gersang dan bau asap seperti ini. Ketika hendak menyeberangi jalan, dilihatnya seorang nenek maju-mundur di tepi jalan, mungkin akan menyeberang si nenek itu, pikirnya. Diajaknyalah nenek itu menyeberangi jalan yang ramainya bagai lomba 17-Agustusan di kampunya itu. Tak henti-hentinya si nenek yang di tangan kirinya membawa lembaran majalah Go Girl itu mengucap syukur dan berterimakasih telah diseberangkan oleh Sumi. Sambil menyalami Sumi, nenek itu berkata, yang kupikir kata-kata itu berulang kali dibunyikannya, “hatur nuhun nak, kalau tidak ada kalian mungkin saya sampai bedug magrib tetap mematung di seberang jalan itu.”, sambil tersenyum Sumi berkata “sama-sama nek, hati-hati ya nek.” si nenek tak mau kalah mendoakan “Semoga selamat sampai tujuan, semoga dilancarkan rezekinya, hati-hati di jalan ya neng, semoga Allah membalas kebaikan eneng.” tambah nenek itu sambil mengelus-elus pundak Sumi sambil berlalu. Sumi mengamini, begitu saja Sumi teringat neneknya di kampung; Mak Sopiah. Terlebih didengarnya tadi pagi si Uncuing menyanyikan kepiluannya selepas adzan Shubuh. Juga perkataan kemarin sore di warung “Wah, manuk Uncuing itu berasa sering banget bunyi ya, ngeri banget suaranya, siapa ya yang bakal meninggal, itu kan burung pembawa pertanda..” tiba-tiba saja Sumi merasa perkataan itu ditujukan padanya, mengingat neneknyalah satu-satunya warga yang diprediksi riwayatnya sudah tinggal menghitung hari itu, “Hush! Ibu Ikin ini, burung kok ya disamain kayak malaikat pencabut nyawa!”
Semenit kemudian handphone-ku berdering, pada layarnya tertulis nama “Ibu” –ini sms dari Marni. Isinya kira-kira begini: “Cep, tolong kabari istrimu, anakmu baru saja meninggal. Jenazahnya baru tiba 15 menit yang lalu, diantarkan ambulan. Kecelakaan lalu lintas. Sing tabah ya.” Terang saja istriku tak bisa menahan emosinya, ia menangis sejadi-jadinya hingga pingsan di alun-alun itu. kusewa angkot dan diantarlah kami sampai kampung.
Di sana, tepat di samping tubuh yang anggota badannya sudah tak berada di tempatnya lagi itu, jenazah Toni, putra sulung kami, duduklah Sopiah. Si tua itu! ia sedang mendoakan anak sulung kebanggaan kami itu menuju peristirahannya, tentu dengan doa yang kata-katanya hanya ialah yang tahu. Sekilas ingatanku berkelebat akan bayangan-bayangan kebun jagungnya yang terpaksa kami jual demi membeli sepeda motor untuk sulung kami. Tanpa sadar mulutku berucap, benarkah ia sudah pikun, si tua itu? []
Cileunyi, 14 Juli 2015
posted from Bloggeroid
0 komentar