Menjadi Tua
Sunday, November 15, 2015Seorang lelaki tua tertegun sejenak setelah tanpa sengaja menengok ke arah seorang wanita yang menenteng sebuah buku bersampul oranye. Kerut-kerut di sekitar area bibir dan matanya nampak lebih keras sebab ia tengah tersenyum. Terkesan, sebab kedua matanya tengah berbinar. Maka berucaplah ia, “Sepotong senja untuk pacarku”. Posisinya kini berada tepat di samping wanita yang sedang duduk di jok tengah sebuah Bus jurusan Bandung-Sukabumi, pandangnya tak pernah lepas dari buku di pangkuan si wanita yang menoleh dengan raut terheran-heran, “Maka, terbuat dari apakah kenangan?” ucapnya kemudian.
85 cerpen karya sastrawan besar Indonesia, Seno Gumira Ajidarma, yang telah termuat di Koran Kompas sejak 1978-2013 terkumpul dalam sebuah buku bersampul oranye bertuliskan “Senja dan Cinta yang Berdarah”. Untuk beberapa alasan, saya tiada tega membiarkan buku itu hanya terpampang di rak buku. Maka saya jinjing buku itu ketika pergi. Bukan, bukan karena agar terkesan intelek, namun semacam kebutuhan. Kebutuhan akan kemanusiaan, juga hiburan, sebab saya haus hiburan. “Bukankah semua yang ada di dunia ini,” ucap si Tua “memang hanya sebatas hiburan?”
Kata-katanya terkesan sebagai sebuah pernyataan ketimbang pertanyaan—meski dalam nada pertanyaan, saya rasa. Ya, hiburan. Tapi, untuk siapa? “Hidup ini hanya sebuah pembuktian bahwa ada sesuatu yang mampu menciptakan sesuatu lain agar menghindarkan dirinya dari kebosanan!” Saya tertegun sejenak, saya tiada mengerti. Kemudian saya teringat Sherlock Holmes, “tapi apa yang bakal terjadi jiga sesuatu yang diciptakan sebagai pengobat kebosanan tiba-tiba merasa bosan pula?” saya bertanya. Senyum ganjil di bibir lelaki tua itu, yang melulu mengganggu pikiran saya, tersimpul lalu berkata, “hidup ini toh kan memang hanya sebatas panggung hiburan".
“Kau membaca sesuatu yang sebenarnya telah kau alami, kau rasakan, kau saksikan,” si tua—yang kurang lebih telah hidup di dunia selama lebih dari setengah abad ini membetulkan kacamatanya, “kemanusiaan katamu, huh? Saya penasaran apa yang kemudian kamu lakukan setelah selesai membaca kesemua cerita itu. Refleksi? Merenung? Menulis cerita serupa?” ia berdehem, “ah, obviously, do nothing, right?”. Kesal, saya jawab, “Membaca membuat manusia menjadi manusia. Berpikir menjauhkan kita dari ketiadaberartian”. Maka sudahkah kau menjadi manusia? Belum, saya kira. Masalahnya, pertanyaan “apa itu manusia?” saja pun tiada mampu saya jawab. Setidaknya setiap kata-kata yang keluar dari mulut saya, hanya diresponnya oleh gelengan kepala.
"Cogito ergo sum. I think therefore I am. Aku berpikir maka aku ada” ucapnya seraya diiringi senyum ganjil yang selalu berhasil membuat saya canggung, saya bertanya-tanya apa yang ada di balik senyum itu. Diam-diam saya berterimakasih kepada diri sendiri, karena sifat ABG saya yang mudah kesal dan labil itu tidak muncul saat itu, sebab bila iya, mungkin saya sudah men-judes-i lelaki tua itu. Saya berpikir maka saya ada. Sebuah ungkapan milik filsuf Perancis: Descartes itu kemudian berputar-putar di dalam kepala saya. Maka, adakah Descartes bermaksud menjadikan manusia sebagai seorang pemikir? Adakah seorang yang bukan pemikir tiada bisa dikatakan sebagai manusia? Lantas, apakah seorang “pemikir” itu? kepala saya berkunang-kunang. Lalu saya teringat tetangga sebelah, yang setiap menonton tayangan berita tentang pembunuhan/ perampokan/ pemerkosaan dan pe-lain-lain-nya berkomentar “dasar ya itu orang bukan manusia!” akhirnya saya berkesimpulan: pertama, siapa pun bisa menjadi orang namun tiada bisa menjadi manusia. Namun, ada juga perkataan orang tua seperti "cepet gede, nak, biar cepet jadi orang", saya pusing. Kedua, manusia yang melakukan kejahatan/ sesuatu yang alah tiadalah disebut manusia karena ia tak berpikir akan dampak dari apa yang ia lakukan. Saya ingin muntah, maka saya lambaikan
tangan pada kamera.
Sebagai mahasiswa sastra, saya telah mempelajari sastra selama tiga tahun lebih. Namun, lagi-lagi, butuh waktu yang lebih dari sekian untuk betul-betul mengenal sesuatu. Dan ya, I know nothing about it! I know nothing about anything. Then I am learning. And I just can’t get enough of it. “Seno, untuk jadi seorang pengarang besar, juga bukan dalam waktu
yang singkat, tentu saja ia juga membaca dan belajar, tiadakah kau ingin menjadi pengarang besar juga?” Ucapnya. Tidak, saya ingin menjadi manusia.
“Sastra Inggris, huh?”
“Ya.”
“Can you speak English?”
“Ya.”
“Fluently, I mean.”
Maka berkisahlah ia perihal hidupnya, tentu saja dalam bahasa Inggris. Sebagaimana layaknya seorang tua, pengalaman hidup merupakan satu dari sekian keunggulan yang ia punya, sebab dirinya telah mengecap asam garam kehidupan. Saya kira, dari caranya berbicara dalam bahasa Inggris, ia telah sejak lama belajar dan terampil berbahasa Inggris. Dan, benar saja, ia telah tinggal selama 15 tahun di Austria! Sambil mengeluarkan selembar kartu nama, ia berucap, “saya punya semua koleksi karya Seno Gumira Ajidarma”.
Pertemuan dengannya membikin saya teringat pada seorang tua lainnya, saya selalu ingat gigi depannya yang tinggal lima, yang juga tanpa sengaja diketemukan oleh hujan di sebuah Kafe di daerah Tamansari. Ia, kakek pensiunan IPTN itu, berbicara dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Ia, lelaki setengah abad lebih, yang alumnus UGM itu, tak ada gengsinya bertanya tentang kata bahasa Indonesia yang ia tak tahu apa bahasa Inggrisnya. Maka saya tertampar, sebab saya dua puluh satu tahun, seorang pelajar yang kadang malas belajar, tiadakah saya malu bertemu dengan para kakek yang tiada pernah puas dengan pelajaran selama hidup? Maka saya tertegun, karena lewat kaca bus, saya melihat seorang kakek sedang menuntun anak-anak menuju mesjid. Maka saya terhina, sebab seorang lelaki setengah abad lebih, yang seluruh rambutnya telah memutih itu, baru saja menuntun saya dalam sebuah renungan filsafati. “You know,” bisiknya, membangunkan lamunan saya, “Learn knows no age!”. Sambil tersenyum, ia berkata “kiri!” satu anggukan, kemudian saya melihat punggung yang menjauh.
posted from Bloggeroid
0 komentar