Hantu di Kamar Ibu
Friday, November 13, 2015
Krriiiik!
Deritan panjang pintu kayu yang terbuka seakan memecah keheningan malam, segera kusembunyi di bawah kegelapan meja makan. Siapa itu? Mulutku terbungkam, jantungku bedebar kencang, mataku keram, seakan tak ingin melewatkan secuil pun pemandangan di hadapan. Siapa tengah malam begini datang tanpa mengucap salam? Hatiku tak karuan. Lama sekali si pembuka pintu itu masuk, langkahnya tersendat, tangan kanannya mengenggam sebuah tongkat, sebelah kakinya terlihat diseret berat. Aku mematung dalam keremangan perasaanku sendiri, dadaku panas menahan napas yang sedari tadi sesak, pun rasa kantuk yang seketika berhenti menerjang. Lelaki itu tak berwajah.
*
Ketika ibuku masih jabang, sungai di perbatasan kampung dan komplek ini memang telah begitu memiliki air yang jernih. Ikan-ikan kecil nampak saling berkejaran di bawah atap pandangan. Ah, padahal biasanya air di sini sangat kotor. Apalagi sejak adanya bangunan besar di tengah komplek itu. Limbahnya menciptakan perpaduan bau yang membuat indera penciuman berontak setiap kali kuingin bercengkrama dengan burung-burung bangau yang seringkali hinggap di tepian sungai. Tapi, kali ini lain.
Keperawanan alam di tempat ini membuatku tergoda untuk membuka pakaian dan membasahi tubuhku. Ibu bilang, ia sering juga mandi di sungai ini bersama teman-temannnya sewaktu bocah. Dan, ya, bersama pemilik rahim yang 9 bulan membungkusku itulah kuberada di sini.
Ibu merangkulku dengan balutan tawa yang hangat, aku hanyut dalam dekapannya. Berdua kami saling memainkan air, hingga tiba-tiba aku melihat tangan ibu ditarik paksa oleh sesosok manusia tak kukenal. Dia memaksa melepaskan dekapan ibu terhadapku, tapi ibu tetap mempertahankannya. Setengah teriak aku memanggil ibu, sekuat tenaga aku memukul tangan kekar itu, malah aku yang terhempas.
Hanya pening yang kemudian menjalari kepalaku dan napas yang tersenggal. Sedetik kemudian mataku melihat sebuah atap dan tembok bercat biru. Kamarku. Hal lain yang kuingat setelah itu hanya kasur yang basah. Aku ngompol lagi.
*
Kepulan asap tembakau di ruang tamu seakan sudah menjadi bagian dari pagiku. Alih-alih mengharapkan udara segar, malah racun nikotin tersebar. Rumah yang hanya seluas empat tumbak ini pun pasti akan dipenuhi asap nikotin dalam hitungan menit ke depan. Adalah aku yang membiarkan si pengepul asap mengepulkan asap sesak itu ke dalam kerongkonganku setiap hari. Tentulah berbeda dengan rumah yang dulu di kampung, meskipun besarnya tak jauh berbeda dengan rumah ini, namun asap nikotin tak sama sekali pernah menyapa lubang hidungku
"Sudah kubilang ada yang enggak beres sama paru-paru anak itu. Tapi Ibunya gak mau dengar." Aku pura-pura tak peduli.
"Ah, peduli apa ibunya terhadap anak itu. Kehadirannya pun tak pernah ia harapkan."
Aku memandang sinis ke dalam tatapan jijik ke arahku.
"Husss, gosip aja sih bu Marni ini!" aku mendengarkan saja.
"BENAR! Namanya juga anak gak jelas asal-usulnya."
“Namanya juga anak dari wanita simpanan!”
"Uhuk uhuk UHUK."
Batukku semakin parah memekakkan telinga ibu-ibu komplek yang sedang sibuk memilih sayuran sambil bergosip –menggosipkan diriku di bagian seberang gerobak tukang sayur ini. Tepat di hadapanku. Si empunya gerobak sayur menatapku sunyi. Aku tak peduli. Aku tak perlu dikasihani. Lagipula paru-paruku tak pernah bermasalah, kepura-puraan inilah yang aku lakukan untuk menutupi masalah yang selalu mereka anggap salah.
"Jadi berapa semuanya, Bang?"
"Lima belas ribu rupiah, Neng."
Satu kantong kresek sayuran telah kutukarkan dengan uang lima belas ribu rupiah di saku celanaku. Hasil dari menjual biji cengkeh kebun Haji Wahid yang kupungut tanpa sepengetahuan lelaki tiga perempat abad itu tentunya.
Wortel, kubis, kol, tahu, kentang, tomat, brokoli, dan sosis berhamburan berebut tempat di atas baskom. Hari ini aku akan masak sup kesukaan ibu. Aku suka melihat perpaduan warna sayuran itu di dalam panci yang mendidih. Perempuan muda itu pun pasti akan sangat lapar setelah menonton berita politik stasiun televisi swasta yang menjemukan itu. Betapa tidak, bukan hanya indera penglihatan dan pendengarannya saja yang bekerja; sumpah serapah, umpatan, dan cacian yang keluar dari mulutnya tak pernah berhenti muncrat mengutuki sosok pak tua sok pintar yang selalu muncul di layar kaca itu. Menonton televisi memang menjadi kebiasaan ibu setiap hari, hampir seharian ia menghabiskan waktunya untuk duduk di depan layar 21 inch yang ia dapat dari lelaki keriput yang sedang dihujani berbagai pertanyaan di dalam layar yang sedang ia tonton itu.
"Maaf, bu, saya sedang sibuk sekali di rumah, banyak hal yang harus wanita karier seperti saya kerjakan dibanding ikut arisan komplek." Ucapnya kepada bu RT yang datang ke rumah kemarin sore yang tak sengaja kudengar saat sedang asyik bermain boneka barbie. Tentu saja sendirian, ibu tak pernah mengizinkanku bermain di luar rumah, temanku pun tak pernah ada yang main ke rumah. Takut sama ibuku, katanya.
Dari kedatangan Ibu RT pula aku tahu bahwa wanita karier itu adalah mereka yang menghabiskan waktunya seharian mengomentari acara televisi sambil mengepulkan asap rokok. Setidaknya itu yang bisa kutangkap dari omongan ibu kemarin. Ah, apa pun definisi wanita karier itu, yang jelas ia adalah seorang yang cerdas memilih untuk diam di rumah daripada bergosip berbungkus arisan yang dilakukan ibu-ibu komplek kurang kerjaan itu.“Dasar si tua sialan! Terus saja bohongi mereka sampai mampus! Sebelah kaki sudah masuk liang lahat pun masih saja doyan kibulin orang! Mestinya sudah kubikin mampus kau kemarin malam.”
Kali ini kalimatnya berbeda. Biasanya perempuan itu hanya berucap “Tua Bangka setan! Bisanya cuma jual-beliin lubang setan. Kau pikir setan mau dibodohi setan? Cih!” atau kadang-kadang, “Kemesraan kok diumbar-umbar, gak sadar apa kalau lagi gandengan sama kucing! Dasar kucing!” Gak sadar apa kalau ngomong sampai berbusa pun yang dikomentari gak akan dengar! Tapi kemudian kata-kata itu hanya tersumbat di kerongkongan. Bagaimana pun, apapun perkataan orang lain, betapa pun itu benar, akan tetap salah di telinga wanita yang sedang dibakar amarah.
*
"Bu, semalam aku melihat hantu masuk ke dalam rumah kita."
"Tidak ada namanya hantu."
"Benar, bu, itu hantu. Dia hitam dan seram. Dan.. dia.. dia tidak mempunyai wajah, dia memakai topi dan menghisap benda yang mengeluarkan asap yang baunya sama seperti benda yg selalu ibu hisap itu."
"Benda apa?"
"Guruku bilang benda itu namanya rokok, dan rokok itu mengandung nikotin yang katanya akan menjadi racun."
Ibu tak menghiraukan penjelasanku.
Sudah beberapa hari terakhir ini aku melihat sosok bayangan hitam bertopi di balik gorden kamar ibu. Si bayangan hitam yang juga senang mengepulkan asap tembakau layaknya ibu itu selalu datang tepat pukul sebelas malam. Di saat para tetangga merajut mimpi dalam tidur yang pulas, dan aku yang selalu terbangun dengan malas. sudah beberapa hari terakhir ini lelaki itu datang lagi menemui saya, entah dari mana ia tahu alamat rumah saya yang baru. Ia masuk begitu saja dan mengetuk-ngetuk kamar saya setiap malam.
"Bu..." "Apa?""Kenapa ibu menghisap racun?"
"Aku tidak menghisap racun, aku memelihara racun."
"Di mana? Di mana ibu memelihara racun itu? Aku ingin lihat, bu. Tapi kenapa ibu memelihara racun? Bukankah racun itu berbahaya untuk hidup kita, bu? Racun bisa membuat kita mati. Aku tak mau mati, bu. Aku tak mau sendirian di dalam lubang kecil itu. Aku ingin terus bersama ibu."
Lagi-lagi tak kutemukan respon dari perempuan ini.
"Bu..""Kenapa lagi?"
"Aku takut bu."
"Takut? Takut mati?"
"Takut hantu itu datang lagi nanti malam, bu."
"Tidak akan. Tidak ada hantu."
Hening."Bu..""Huh?""Aku ingin tidur bersama ibu malam ini ya, bu. Aku takut hantu itu datang ke kamarku, bu."
"Tidak ada hantu, dan kau tidur di kamarmu."
Begitulah. Ibu tak pernah mau percaya akan bayangan hitam yang kusebut hantu itu. Padahal aku sangat yakin itu hantu. Mungkin hantu Bapak. Karena Ibu bilang bapak mati sebelum aku dilahirkan. Ya, mungkin itu arwah bapak. Bapak ingin bertemu denganku.
Suami saya sudah mati lama. Kelindes truk waktu pulang kerja. Kerjaannya sih cuma sales kosmetik di perusahaan kosmetik yang baru di bangun di tengah komplek seberang kampung. Waktu itu saya sedang hamil tua.
Di hari pertama aku memergoki sebuah bayangan hitam masuk ke dalam rumah tanpa permisi, seperti maling yang memang sengaja diundang si tuan rumah untuk merampok isinya. Atau maling yang sengaja dikasih kunci pintu si empunya rumah sehingga ia bisa datang kapan saja. Atau dia adalah hantu maling yang bisa menembus pintu rumah tanpa harus dibuka. Ah, entahlah, yang jelas malam itu aku tak peduli ia maling atau pun hantu. Hal yang paling penting untuk kukerjakan malam itu adalah menyingkirkan sprai basah yang tak sengaja kubasahi saat kutertidur untuk langsung kucuci agar tak ketahuan ibu besok pagi. Dia pasti akan murka dan menjewer kupingku lagi. Bagian yang lebih menakutkan adalah ketika mantra-mantra tak berguna keluar dari mulut kering itu. Ocehan yang hanya Tuhanlah yang tahu kapan mulut itu berhenti mengatup.
Roh-roh jahat pernah bilang padaku bahwa sebaiknya kujahit saja mulut perempuan itu biar tidak membuat telingaku terbakar. Aku sempat ingin setuju dengan roh jahat. Ini demi kebaikan aku dan ibu, pikirku. Tapi jika mulutnya kujahit, ibu tidak akan bisa lagi melahap sup buatanku nanti.
Ah, iya. Kemudian roh jahat pergi dengan dengki yang tak kumengerti.
*
Sup buatanku kali ini pasti akan meluluhkan hati ibu yang terbakar kemarin malam, saat bulan mulai temaram dan hatinya diterkam pertanyaan. Pertanyaan akan lenyapnya cinta ditikam kejam. Kejam yang berhasil membuat dirinya muram. Muram mengingat perkataan jalang dari sebuah bayangan kelam. Menyisakan lubang hitam di hati yang paling dalam.
Malam itu seperti biasa, ia datang lagi, kembali meminta kepastian apakah saya mau jadi istri mudanya, kesekian kalinya saya menolak.bahkan untuk jadi istri satu-satunya pun saya tak sudi. Ia pergi, ada lagi yang datang kemudian.
"Aku senang ibu suka supku," kataku sambil tersenyum memandangi ibu yang sedang menyelesaikan kunyahannya.
Perempuan itu berhenti mengunyah kemudian menatapku.
"Aku hanya sedang lapar," Sup-mu tak sama sekali enak, Naya. Ucap ibu dingin sembari menggerakkan sendoknya mengambil potongan kubis kesukaannya.
"Ya, bu. Aku tahu. Bagaimana mungkin ibu tidak lapar setelah semalam ibu mengusir hantu itu. Aku tahu ibu tak ingin hantu itu menyakitiku. Iya kan, bu?"
"Tak usah banyak bicara. Makan saja." Kau tahu, manusia itu hampir memutuskan kerongkonganku jika ia tak melihat batok kepalamu muncul dibalik gorden.
"Hantu itu tak akan datang lagi malam ini kan, bu?"
"Tidak ada hantu." Dia pasti datang lagi.
"Tapi aku melihatnya sendiri dia ada di dalam kamar ibu tadi malam, dan aku pun melihat ibu membentaknya agar tidak menggangguku lagi."
"Tidur jam berapa kau semalam?"
"Setelah hantu itu pergi."
"Bukankah aku sudah sering bilang, anak kecil haruslah sudah tidur jam sembilan malam. Kenapa kau tak menuruti perkataanku?"
"Tapi, bu, aku takut hantu itu datang lagi dan mengganggu ibu juga aku seperti malam sebelumnya."
"Tak ada hantu."
Di hari sebelum malam dimana aku melihat si bayangan hitam, ibu menumpahkan sup buatanku ke seragam putih merah yang kukenakan hari itu. Ibu bilang aku menghilangkan selera makannya karena seragamku itu telah berubah warna dari putih menjadi warna tanpa nama. Karena aku tak tahu putih yang telah berubah warna beriringan dengan empat tahun aku memakainya itu dinamakan warna apa.
Jelas ibu naik pitam dibuatnya. Terlebih saat kubilang seragam yg dibelikannya kemarin itu kuberikan kepada temanku yang kurobek seragamnya karena menghina ibu. Aku selalu melakukannya kepada siapa saja yang menghina ibuku tanpa perlu ucapan terimakasih dari ibu. Tanpa perlu pelukan hangat dari ibu. Tanpa perlu kecupan kasih dari ibu. Tanpa perlu belaian sayang dari ibu. Tanpa perlu senyuman manis dari ibu.
"Bu, mungkinkah itu arwah bapak?"
Perempuan itu menghentikan kunyahannya.
"Mana bisa arwah orang mati berkeliaran." Bapakmu sudah mati!
Jawab ibu singkat sambil melanjutkan kunyahan terakhirnya dan pergi menuju dapur.
Hening.
"Tidakkah ibu ingin bertemu dengan bapak walau dalam bentuk arwah? Tidakkah Ibu merindukannya?"Perempuan itu berlalu."Ah, lagipula bayangan arwah bapak itu hitam dan seram. Aku tak suka bayangan itu. Tentu saja dia bukan bapak," tambahku bohong."Kau tak menuruti perkataanku dan kau harus dihukum."
Hantaman tiga biji sapu lidi mendarat dengan sempurna pada betis dan tanganku. Air mata mengalir tanpa suara di kedua pipiku, tapi ternyata air mata itu berasal dari mata yang bukan bagian dari tubuhku.
***
Aku terbaring di samping tubuh perempuan yang rahimnya pernah memberiku kehangatan sama seperti malam ini. Setelah Ibu mengobati luka-luka di betis dan lenganku, ia menggendongku ke dalam kamarnya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya yang entah mengapa saat itu terlihat sangat cantik. Mungkin karena aku melihatnya pada jarak yang sangat dekat. Ia menyanyikan sebuah lagu kesukaannya.
Yesterday, love was such an easy game to play.
Now I need a place to hide away.
Oh, I believe in yesterday.1
Aku terlelap dalam keteduhan suara bidadari di sampingku hingga kemudian aku terbangunkan oleh riuh suara orang-orang di sekitarku. Seprai putih yang membungkus kasur busa lapuk ini basah. Kali ini warnanya merah. Warna merah itu berasal dari leher yang hampir putus. Wajah yang membiru itu dingin. Mulut itu pucat dan tak mengeluarkan kata-kata kibul seperti biasanya, hanya suara lembutnya yang masih terngiang indah di telinga.
Why she had to go
I don’t know she wouldn’t say.
I said something wrong,
Now I long for yesterday.
Tangan kakunya menggenggam selembar kertas. Surat cerai.
Hantu itu datang lagi.
Ibu memelukku erat, aku seperti mengenali lelaki tua yang lehernya putus dengan mulut menganga di samping tubuhku itu, polisi keburu membawa ibu ketika baru saja ingin kutanyakan apakah lelaki itu pak Parman, lelaki kaya raya beristri yang selalu ingin menikahi ibu itu?
“Lalu siapa pembunuh pak Parman si tua yang malang itu?” Tanya teman bicaraku, dengan muka tegang sambil meneguk kopi hitamnya yang sudah dingin.
“Aku tak tahu. Polisi menyuruhku pulang setelah kesaksianku dan ibu selesai hari itu.”
“Kau telah menduga siapa pelakunya?”
“Tidak, tapi aku tahu.” []
Lirik lagu The Beatles - Yesterday
Bandung, 14 Januari 2015
posted from Bloggeroid
0 komentar