Self Doubt
Tuesday, February 28, 2017Setahun lalu, kurang lebih, seorang teman menawari saya untuk sama-sama mengurusi sebuah website bertemakan semua tentang buku. Saya, yang memang kebetulan (lumayan) suka baca buku, tentu saja mengiyakan. Saat itu teman saya ditemani seorang yang kelak saya tahu bernama, sebut saja, Saepul. Dia, teman baru saya itu, bertanya tentang kepenulisan saya. Sebab saya telah lama menjadi seorang pemalas, saya sadar hampir tidak pernah menulis lagi. Terlebih, saya memang tidak memfokuskan diri untuk menulis. Saya melakukan sesuatu hanya jika saya ingin. Sayangnya, keinginan untuk menulis sangat jarang menyambangi diri. Walaupun, sebenarnya, jauh di dalam hati, saya sangat ingin menulis sesuatu. Tiap kali saya melihat, merasakan, juga mengalami sesuatu, tiba-tiba saja seakan muncul sebuah narasi di dalam otak saya dan di sana muncul bayangan diri saya sedang menuliskannya di dalam catatan saya. Tapi, begitulah, malas saya lebih hebat lagi rupanya.
Singkat cerita, saya lulus kuliah. Perasaannya? Biasa saja. Saya tidak tahu apa yang akan saya rindukan selain canda bersama teman-teman dan ngomongin dosen A atau B. Selebihnya, hampir tidak ada. Hampir. Berarti masih ada saja; salah satunya menulis buku catatan. Hahah! terdengar seakan mahasiswa yang rajin saja saya ini. Tapi, dengar kawan, buku catatan saya mungkin hanya 20% yg isinya materi kuliah, sisanya? ya coretan jengah hahaha.
Saya pernah diejek salah satu teman kelas karena buku catatan saya itu. Menurutnya, saya manusia masa lalu yang "alay," tersebab kebiasaan menulis semacam "diary" kayak anak ABG kasmaran di buku tersebut. Bukan apa-apa, saya bukan tipe orang yang doyan denger ceramah (dosen). Saya lebih suka belajar sendiri, itupun kalau mau. Biasanya kalau saya sudah mau, apapun saya lakukan hahaha. Akhirnya, alih-alih nulis yang diomongin dosen, mending saya nulis sesuatu yang tak lebih omong kosongnya dari ceramah dosen yang itu-itu saja di tiap semesternya. Sayangnya, teman saya lebih dulu menuduh sebelum membaca kesemuanya, seingat saya di catatan kuliah itu saya tidak pernah menulis curhatan-curhatan ABG tentang cinta-cintaan, walaupun sesekali saya sering tidak sadar nulis nama gebetan di sudut-sudut kertas itu.
Fenomena "manusia masa lalu" ini kemudian mengingatkan saya kepada masa-masa kecil saya. Sewaktu sekolah dasar, setiap saya ulang tahun, mama selalu memberikan saya kado buku diari. Betulan buku diari. Kebanyakan bergambar barbie, atau bergambar hati warna merah muda, kadang yang ada gemboknya haha. Saat itu, saya tidak mengerti apa mama memang sengaja membikin anaknya biar rajin nulis atau karena biar gak usah cape aja mikir ngasih kado apa tiap tahunnya? Sejujurnya saya tidak peduli, yang penting ceritanya saya punya diary. Diary itu, tentu saja, saya isi dengan ceurhatan-curhatan picisan saya tentang seorang anak laki-laki yang saat itu saya taksir, anggap saja ia juga naksir saya. Tapi, sialnya, mama baca curhatan saya itu, dan tak ayal, saya dimarahi habis-habisan. Anggapnya saya masih bocah ingusan (ingusan betulan!) untuk mengenal cinta-cintaan. Menurut saya itu tidak adil. Saya sempat ingin protes, tapi kan saya pengecut, takut durhaka. Begitulah, sejak saat itu, saya tak pernah menulis diary lagi, dan kado diary tak pernah datang lagi di tahun-tahun berikutnya.
Cerita lain, teman sekelas saya (lagi-lagi sewaktu sd), seorang lelaki, mencuri buku binder saya yang di salah satu lembarnya ada sebuah cerita tentang tetangga saya yang kakinya patah gegara ngejar layangan putus. Sebab saya anak yang melankolis sejak dalam pikiran, terlalu baper kalo melihat sesuatu, saya jadi kepikiran nasib tetangga saya yang patah kaki itu. Saya menuliskannya di lembar binder itu dengan judul "Tragedi Layang-layang." Tulisan itu ketahuan teman saya. Dan sejak saat itu saya diejek naksir sama tetangga saya si Patah Tulang. Saya pikir ini sial betul. Sebab sejak itu saya jadi malas untuk bikin cerita, dan kepenasaran saya hanya tinggal di dalam kepala. Meski sesekali saya masih juga menulis. Salah satunya tulisaan di buku seukuran kertas polio (tolong, saya tidak tahu apa nama buku semacam itu, buku polio?). Dan ini baru saya temukan kembali sekitar sebulan lalu saat beres-beres kamar. Kiranya buku itu ada semenjak saya SMA. Saya kaget juga, nyatanya buku itu isinya novel bikinan saya, dan ditulis pake pensil, hih! Belum selesai memang, namun saya tidak menyangka juga saya bisa bikin yang begitu. Mungkin kalau saja saya teruskan tulisan itu waktu SMA, tentu saya akan jadi anak terkeren se-sekolahan. Kalau sekarang? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala membaca tulisan picisan itu hahaha. Tanpa saya kasih tahu, kau pasti sudah mengira (calon) novel itu bercerita tentang apa? Hahaha.
Lantas, bagaimana dengan sekarang? Sekarang? Ya, sekarang! Itulah inti dari tulisan ini, kawan. Sepertinya saya tidak perlu repot-repot mengutip kata-kata bijak milik Pramudya Ananta Toer atau Seno Gumira Ajidarma atau sesiapa pun itu untuk memberikan alasan mengapa manusia harus menulis, bukan? Karena memang saya sedang malas mengutip. Begini, setelah kuliah di jurusan sastra dan mengetahui kenyataan bahwa kini saya sarjana sastra, ada semacam ketakutan atau kecemasan, atau apalah namanya itu, dalam diri saya. Terutama dalam hal menulis bahkan dalam hal sepele seperti menulis status atau menulis caption dalam postingan foto di media sosial. Mengapa? Saya pun takjub bukan main! Karena ada semacam rasa takut salah ucap, salah tulis, dan akhirnya dianggap kurang cerdas, memalukan, dan kehilangan reputasi (halah!). Betul, kawan, saya pun tahu saya terlalu berlebihan. Dan yang berlebihan, konon, tidak baik juga. Saya punya pikiran bahwa kuliah sastra itu beban betul buat saya, terlebih, banyak juga tuh penulis-penulis, penyair-penyair beken yang bukan dari jebolan sastra. Dan yang mahasiswa sastra, apalagi sarjana sastra, cuma bisa segini doang? Betapa! Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di dalam otak saya. Inilah yang kemudian membikin ada semacam "self doubt" dalam diri saya. Saya jadi tidak produktif, tiap ingin nulis, saya takut tulisan saya tidak bagus. Akhirnya cuma jadi draft, tidak selesai. Padahal, bagus atau tidak bagus itu subjektif, bukan? Tetap saja, saya ragu. Akhirnya saya lebih sering baca, lebih sering mengkonsumsi daripada memproduksi, karena ya itu tadi, saya selalu merasa masih kurang referensi. "Apa gunanya kau banyak baca, tapi tak ada sepatah pun yang kau tulis!" Begitu cibir teman saya. Kan sudah saya bilang, saya ragu, saya takut, saya cemas...
Saya tahu, pikiran-pikiran ini tidak seharusnya ada, harusnya dibikin minggat saja. Karena, kata Seno, yang penting itu konsistensi, kalau konsisten kan lama-lama yang biasa-biasa saja bisa jadi luar biasa, proses itu yang paling penting (Hahah saya sejujurnya tidak tahu itu kata-kata Seno atau bukan. Anggap saja itu memang kata Seno agar saya tidak pusing!). Begitulah, kau tahu, saya sering mengutuk diri saya sendiri yang selalu ingin segala hal harus perfeksionis ini, saya selalu ingin segala sesuatu, terlebih yang saya bikin, itu harus sempurna. Kalau tidak, ya sekalian saja jangan bikin. Kalau sudah bikin, saya ragu untuk sebar. Aduh, tolong!
Ah, rasanya saya rindu sekali menjadi manusia masa lalu, di mana saya tidak takut nulis omong kosong apa saja, apdet status apa aja, posting foto apa aja, pokoknya ya suka-suka saya, lihat saja media sosial saya di masa lalu, saya sering geleng-geleng sendiri kalau kembali membacanya, betapa tengilnya saya. Tapi, tentu saja, lebih berani dan bodoamatan. Sekarang? Saya nyaris jadi manusia anti sosmed dan kalau melihat ada orang yang sering sekali apdet status apa pun di sosmed (kebanyakan yang, menurut saya, gak begitu penting), saya jadi manusia pendengki hahaha.
Intinya apa, ya? Mungkin begini saja; dengar, kawan, jangan ikuti pikiran-pikiran dungu saya tadi, ingatlah, proses itu yang penting. Hasil? Bagus atau tidak bagus, ya bodo amat lah, toh kan sebagus-bagusnya tulisan atau apa pun itu (menurut kita) kan pasti ada saja orang yang kontra, tidak setuju, punya pendapat lain. Jadi, teruslah berkarya, kawan, akan selalu ada revisi untuk semuanya hahaha! (Mungkin ini juga pesan untuk diri saya sendiri. Ya sesekali kalau memotivasi diri sendiri, dan sedikit positive thinking bisa bikin diri agak produktif, apa salahnya, bukan?)
0 komentar