Cermin
Monday, March 28, 2016
Ia menatap cermin, namun tak ia temukan sosoknya. Sebab ia pun telah lupa bagaimana ia berwajah. Lalu ia teringat seseorang, dari masa lalu, belum terlalu lalu sebab ia masih mengingatnya dengan jelas. Sungguh jarang ia bisa mengingat sesuatu dengan jelas, terlebih ini adalah sebuah sosok. Maka hatinya bersedih, tapi ia telah lupa bagaimana caranya bersedih. Sebab hatinya telah membatu, dan air tiada lagi bisa menghanyutkan ia, sebab pijakannya telah mencengkeram ia teramat kuat. Urat-uratnya menonjol sebab sekuat tenaga ia melawan, namun semua hanya sia-sia…
Ia menatap cermin, namun ia tak menemukan sosoknya, bahkan ia telah lupa bagaimana rupa dirinya sendiri. Tetapi sosok itu hadir, menyambutnya dengan senyum ganjil, namun ia datang dari jenis yang berbeda. Sosok itu telanjang sebab ia temukan bagian tubuhnya yang menjuntai, liurnya menetes-netes lalu ia sadar sosok itu berbau birahi. Adakah birahi berbau? Ia tak pernah tahu, juga tak ingin tahu, sebab kini ia pun birahi. Maka ia kecup sosok itu, namun sosok itu seketika lenyap.
Sialan, pikirnya. Ia merasa dipermainkan. Sebab kini ia telanjang, dan ia birahi. Maka dengan dada panas ia hancurkan cermin sialan itu, sebab padanya hanya ada fana, dan karenanya ia lupa mengenali wajahnya sendiri. Kemudian ia terdiam, merenung, lalu ia pura-pura menangis, sebab ia lupa caranya menangis. Tangisnya menbanjiri pecahan cermin, maka pecahan cermin itu melayang dan mengutuhkan kembali dirinya. Ia menatap cermin itu dengan takjub. Berdebar karena kini sosok itu datang lagi—sosok yang, tentu saja dari jenis yang berbeda itu, namun ia bermuka lain. Ia berpikir sejenak, persetan dengan tampang! Maka mereka bercinta sangat hebat seakan waktu memang ditakdirkan hanya untuk mereka bercinta.
Ia menghapus peluh juga cairan yang membasahi sesuatu di antara kedua kakinya. Sejenak ia menatap cermin itu lagi, sosok itu masih di sana, menyeringai, dan padanya masih ia cium bau birahi yang seakan tak pernah puas menyetubuhi klimaksnya. Ia tahu sebentar lagi ia pun akan birahi, sebab pucuk-pucuk dadanya telah menyambut getaran dari tubuh sosok di dalam cermin itu. Tapi sesuatu yang entah apa tiba-tiba menahannya, sosok itu kembali menyeringai namun ia tahu pada semua ini ada yang tidak beres.
Kini ia kembali termenung, ia tatap sosok itu, sangat dalam seakan tiada lagi yang bisa lebih dalam. Seketika raut sosok itu berubah sedih, matanya sayu dan di sana air mulai menetes lalu mengalir membasahi pipinya yang tirus. Ia menjadi iba, ia sedih menyadari bahwa dirinya telah menyakiti sosok yang kelak ia sebut sebagai lelaki itu, namun ia tahu bukan sosok itu yang ia cari, meski padanya ia temukan cermin dirinya. Bukankah itu yang selama ini ia cari? Cerminan dirinya? Ketika cermin pun tiada sanggup lagi menampakkan sosoknya. Tapi ia sadar bahwa pada dirinya ada dua, mungkin tiga, atau empat. Ah, ia lupa bahwa ia telah lupa.
Dengan kaki telanjangnya ia menendang cermin itu, namun cermin itu menjadi kuat. Kokoh, sebab padanya telah disematkan kekuatan cinta yang konon tiada tertandingi. Sosok di dalam cermin itu menggeliat, seakan menyadari bahwa dirinya akan melebur bila cermin itu pun hancur. Namun cermin itu tak hancur-hancur juga sebab pada lelaki itu cinta tak akan pernah terukur. Tapi… Persetan dengan cinta! Spontan, ia melempar barang apa saja yang ada di dekatnya, sasarannya adalah, tentu saja, cermin sialan itu.
Bahkan dirinya pun tak menyadari bahwa kini, perlahan, amarahnya mulai menguap sebab tertegunlah ia mendapati sosok di dalam cermin itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan, tersebab sosok itu kini berkepala 4! Ya, betul-betul mempunyai 4 kepala, dengan satu badan sebagai penopang. Samar-samar ia mengenali masing-masing kepala dalam tubuh itu. Tersenyum, ia kecupi mereka satu per satu. Ia tahu kini suasana hatinya sedang berbunga-bunga, namun ia tahu bahwa ia tak mungkin bercinta dengan lelaki empat kepala, meski ia tahu kepala bukanlah senjata untuk bercinta. Meski ia tahu juga bahwa manusia berkepala empat itu tetap saja bertubuh satu, dan, tentu saja, juga berpenis tunggal. Tapi, hey, bercinta bukan saja urusan penis! Karena manusia mempunyai satu senjata lagi di dalam batok kepalanya, dan itu yang lebih membikin ia penasaran, yang membikin ia tergila-gila.
Ia tatap kembali, lekat-lekat, keempat kepala dalam tubuh itu, mereka sama tersenyum. Namun samar-samar ia lihat tubuh itu seakan mempunyai batas waktu, ia lihat tubuh itu terbagi menjadi empat, satu untuk masing-masing kepala, lalu bersatu lagi dalam satu-tubuh-empat-kepala. Berkelebat. Selalu begitu hingga ia pusing dibuatnya. Ia sadar bahwa pada satu tubuh itu tiada bisa ada empat kepala. Ia sadar bahwa dirinya harus membuat keputusan. Bahwa ia mengingini satu tubuh dengan empat kepala itu adalah sesuatu yang egois. Dan ia paling sebal dengan pekerjaan “memilih”, sebab ia harus membanding-bandingkan antara satu dengan lainnya. Maka ia bersedih, sebab membanding-bandingkan manusia adalah sesuatu yang sungguh tidak manusiawi. Lalu ia menangis. Seakan tiada lagi hal yang bisa ia lakukan di dunia ini selain menangis. Frustasi, ia pun menjerit, sangat keras hingga sosok di dalam cermin berubah menjadi kemilau cahaya yang membutakan sesiapa pun yang menatapnya. Air matanya mengalir deras menciptakan banjir air mata yang tak terelakan lagi, kemudian ia hanyut—dalam banjir air matanya sendiri--ke dalam cermin itu. Kembali ia menjerit namun suaranya hanya tersangkut di tenggorokan, sebab ia kini adalah manusia cermin. Kini, dirinya telah berada di dalam cermin. Dan ia menunggui sesosok manusia bernama lelaki berdiri menatapi cermin itu kemudian berkata, “aku adalah kau, kau adalah aku, kita satu”. Namun ia tahu pada dua kepala tidak akan pernah ada kata satu. Sebab kelak ia tahu bahwa dalam diri manusia ada lebih dari satu.
posted from Bloggeroid
0 komentar