Syair si Pak Tua
Saturday, January 10, 2015Lelaki tua itu menjemukkan sekaligus meneduhkan, terkadang. Tapi ia belum tua.
Diantara jumat yang panas. Panas sebagai mana rasanya panas. Pada tempat yang sama, bersama orang-orang yang sama dan matahari yang masih sama. Juga rasa kantuk yang masih sama. Rasa kantuk yang rupanya tak kuat menahan panas hingga membuatnya menguap dan semakin menguap terbang entah kemana. Jiwanya ikut bersama uap-uap lainnya dan bergabung menghiasi cakrawala sana.
“Heh! Tidur terus! Bangun! Dengerin tuh ucapan bapak Golden Ways, itung-itung pencerahan akhir minggu.”
Cih, pencerahan!
“Sumpah aku malu banget lah! Tapi banyakan sakit hatinya sih,” seorang wanita berjilbab pink menggerutu sambil menyimpan piring makanannya.
“Kenapa euy kamu?” ucap seseorang yang sedang duduk di meja itu heran.
“Sonya aja deh yang cerita, aku kesel soalnya!”
“Enggak ah kamu aja, May!”
“Yaudah Ulan aja!”
“Kalian ini kenapa sih, malah bikin orang penasaran aja. Ada apa sebenernya?” Tanya si orang yang duduk di meja itu, lagi.
“Jadi gini…” ucap mereka bersamaan.
“Ah, elah!” si wanita yang duduk mulai kesal.
“Tadi tuh kan kita abis ngambil nasi, terus kita bingung mau duduk dimana, meja pada penuh semua kan. Gitunya lihat meja kosong, ya langsung kita sambangi aja.”
“Terus?”
Jogja beberapa bulan lalu, jurusan kami melaksanakan kegiatan PPL disana untuk beberapa hari. Dikarenakan jumlah mahasiswa PPL yang terlalu banyak, kesempatan untuk mendapatkan meja kosong untuk makan bersama teman-teman terdekat sewaktu jam istirahat seakan hanya angan-angan.
“Terus pas kita lagi asik makan tiba-tiba si Sonya lihat secuil kertas di meja itu.. bertuliskan ‘Meja Dosen’”
“Abis tuh?”
“Ya kita kaget dong, pas lihat ke depan ternyata dosen semua.”
Duduk di meja dosen seakan adalah sebuah kesalah besar untuk ketiga mahasiswa ini.
“Terus kalian langsung aja gitu pindah?”
“enggak da udah kagok atuh, udah weh diem disitu.”
Wah.. ternyata mereka biasa aja tuh. Iya lah, kan dosen dan mahasiswa sama-sama manusia, masa gak boleh duduk di bangku yang sama, sih? Lagian kan bukan sengaja sok akrab, gegara gak ada meja kosong aja sih.
“Tapi terus, si bapak dosen ‘anu’ ngeliatin kita sinis banget, sambil ngepul-ngepulin asap rokok gitu. Matanya gak berhenti natap kita. Yaudah kita kabur aja membawa rasa malu dan muka yang panas.”
“Pasti kita bakal diomongin pas mata kuliahnya entar, kan dia mah suka gitu ngomongin orang mulu kalo ngajar. Duh, kebayang deh malunya kita. Semoga dia gak inget sih. Tapi kayaknya inget. Sial!”
“Si pak dosen yang mana?”
“Tuh yang rambutnya udah putih semua itu.”
***
“HEH! Malah bengong! Merhatiin gak sih kamu teh?”
“Merhatiin!” Enggak! “Bawel amat sih kayak SPG kosmetik.”
Aku terbangun dari lamunan dengan rasa kantuk yang masih menguap-nguap kepanasan. Ia hendak meraih kertas usang atau apapun itu yang bisa mengeluarkan hembusan angin yang tentunya akan bisa melenyapkan si panas yang semakin tak tahu diri ini.
Siang itu pula, beberapa pasang mata yang hendak tertutup rapat sempat menahan-nahan untuk tetap terjaga, demi untuk memenuhi janji dua sks per minggu yang sudah disetujui berbagai pihak beberapa minggu lalu. Tapi, hey, tunggu, bukakankah janji itu untuk diingkari? Apalagi janji yang dibuat beberapa minggu yang lalu pastilah sudah kadaluarsa, seseorang mengatakannya padaku dulu. Tunggu, bukan padaku, tapi kepada kami. Lantas siapa kami ini? Mungkin bisa dibilan beberapa jiwa ber-raga yang sama-sama berjuang untuk mendapatkan selembar kertas bertuliskan kata Lulus dan selembar foto bersama kamu.
Kau tahu, saat ini ditengah-tengah kami, sedang terduduk satu mulut yang tak hentinya mengeluarkan bebunyian. Tak banyak bebunyian yang dapat kuingat saat ini. Aku sibuk memerhatikan si empunya mulut berisik itu. Tua, peot, beruban, dan bawah bibirnya selalu terhias setitik cairan warna putih yang sangat menjijikan. Oh, ya, satu lagi, cara si empunya mulut ini berbicara selalu saja menarik perhatianku. Terlampau percaya diri, kupikir. Kadang kupikir dia terlalu menyombongkan hatinya. Tua Bangka memang selalu menyebalkan. Ah, sudahlah jagan mengejek orang tua, terutama dia. bagaimana pun, sebagian besar bebunyian yang keluar dari mulut kering dan keriput itu selalu terngiang di telinga.
Omongannya kadang juga ngawur, maklum seperti temanku bilang tadi, mata kuliah pencerahan. Setidaknya itu yang ia dapat dari hidupnya selama ini, pengalaman hidup yang bisa dibagi kepada orang lain. Walau aku tak yakin cerita yang ia ceritakan adalah ceritanya. Atau ceritanya yang dibumbui sedikit kebohongan agar terlihat keren. Atau cerita orang lain yang ia ceritakan sebagai ceritanya. Atau cerita agak nyata yang kebanyakan tak nyatanya. Seperti kubilang, aku tak pernah tahu. Tepatnya, aku tak ingin pernah tahu.
“Pengungkapkan cinta yang diungkapkan oleh seorang perempuan kepada laki-laki itu hukumnya sunnah kok, seperti bagaimana yang pernah dilakukan istri nabi, Siti Khadijah kepada Nabi Muhammad waktu itu.”
Begitulah mulut peot itu berucap. Dan membuat kelas mata kuliah terakhir di hari jumat ini menjadi arena diskusi perihal jodoh. Maklum, mengenai jodoh suka pada sensitif, apalagi yang jomblo lama. Lagi pada ngantuk pun langsung ‘cenghar’, dua sks pun memuai jadi entah berapa sks. Dan tak ada yang protes, kecuali aku, tapi cuma dalam hati, itupun karena ingat ucapannya tadi.
Sedikit membuat mataku tak ingin merapat lagi memang, tapi ego tetaplah ego. Wanita tetaplah wanita. Ia tak ingin segera meluluh walau telah diperdengarkan mantra tadi. Ya, seperti ucap Gertrude Stein, a rose is a rose is a rose~~
Bandung, 5 Oktober 2014.
0 komentar