Bu, Kalau Aku Ingin Punya Ibu Baru, Bagaimana?

Saturday, January 31, 2015

Suatu pagi seorang perempuan marah-marah karena motor suaminya mogok lagi sewaktu akan mengantarnya ke Pasar. Seperti biasa, ia ngomel-ngomel dan hanya Tuhanlah yang tahu kapan kata-kata itu berhenti keluar dari mulut perempuan yang aku panggil Ibu itu. Aku kesal juga, tapi aku diam saja. Terkadang menjadi sok pintar dan sok memberi nasihat kepadanya juga bukanlah ide yang bagus. Pernah suatu sore –saat ia sedang mengomeli Bapak lagi, aku bilang jangan terlalu sering mengomeli Bapak. Kemudian, omelannya semakin meriah saja. Aku mengemasi buku-buku yang saat itu sedang kubaca di ruang tamu lalu masuk ke kamar meninggalkan perempuan itu ngoceh sendiri.

Sebetulnya sangat sulit untuk mengerti apa kemauan Ibuku, begitu pula Ibu sulit mengerti apa mauku. Obrolan hangat layaknya Ibu dan anak jelas jarang sekali terjadi diantara kami. Jika anak perempuan lain suka curhat apapun kepada Ibunya, mungkin aku bukan termasuk kedalam golongan anak-anak itu. Aku sering iri juga kepada mereka. Ibuku bukannya sibuk, tapi aku yang membentangkan jarak diantara kami. Jarak itu semakin jauh saja ketika aku menjadi dewasa dan menyebalkan.

Aku kecil adalah aku yang selalu bernaung di bawah ketiak Ibu, yang tak pernah berani sedikit pun  membayangkan hidupku tanpa Ibu. Aku yang tak bisa semenit pun jauh dari ibu. Aku –yang jika ibu sedang pergi keluar kota sering membayangkan kejadian semacam bagaimana bila bus yang ia tumpangi mengalami kecelakaan, bagaimana bila ia dirampok kemudian terluka, bagaimana bila kemudian mobil Ambulans datang dengan membawa serta jasad Ibu didalamnya. Membayangkannya pun aku jadi ngeri sendiri. Betapa aku sangat bergantung padanya. Tapi itu dulu, setidaknya bayangan-bayangan itu berhenti sejak aku masuk Sekolah Menengah Pertama.

Sejak masuk SMP aku jadi sering membuat Ibu menangis. Aku seperti anak rumahan yang menemukan surga di halaman rumah. Aku jadi sering bentak-bentak Ibu, tak lagi mau menuruti nasehat-nasehatnya. Sejak itulah tembok pembatas diantara kami dibangun, walaupun sejak itu pula Ibu berusaha mendobrak tembok pembatas itu. Sebenarnya itu salah ia juga, suruh siapa terlalu membebaskan anaknya, jadinya begitu. Mungkin aku kurang terawasi olehnya atau memang aku yang tak bisa menjaga diriku sendiri. Oh iya, sejak SMP pula aku jadi pandai berbohong, dibantu oleh teman-teman –yang bila sekarang kupikir entah mengapa aku mau berteman dengan mereka.

Tembok pembatas berhasil Ibu hancurkan seiring dengan aku yang beranjak masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Kali ini Ibu tak ingin kecolongan lagi, jadinya aku masuk sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah, yang disana ada beberapa kenalan ibu yang bekerja sebagai tenaga pengajar. Aku kesal padanya, tapi aku ingin menurutinya. Semenjak itu aku kembali menjadi aku yang penuh bayangan-bayangan ibu dengan mobil Ambulans.

Aku dewasa –sebenarnya aku lebih senang menyebut aku yang dua puluhan, adalah aku yang berada dalam fase kehidupan yang galau. Di umur segini, aku jadi sering ingin mengetahui banyak hal, mencoba dan melakukan apapun, tapi ruang gerakku dibatasi oleh Ibu yang entah mengapa malah menjadi semakin protektif terhadapku. Memang, belakangan ini banyak yang terjadi di keluarga besar kami –tepatnya di keluarga besar Ibu di Cianjur. Fenomena hamil diluar nikah, merebut suami orang, nikah dengan duda anak tiga, kuliah terbengkalai karena ingin kebelet menikah sudah bukan ancaman lagi karena nyatanya keluargaku mengalaminya pula. Hal itu berimbas kepadaku yang masih jadi anak kuliahan, maka Ibu semakin gencar saja mengawasiku.

Tapi semua itu ada baiknya juga, aku jadi dekat dengan Ibu. Seperti, aku jadi sering diinterogasi kalau pulang kuliah telat, atau menanyakan apakah aku ada kuliah hari ini kemudian menemaninya senam atau ngobrol-ngobrol sambil nonton tv. Walaupun sebenarnya aku masih canggung juga. Ya, aku canggung kepada ibuku sendiri. Ibu selalu bisa mendeteksi apakah aku sedang berbohong atau tidak. Seperti saat ia menanyakan apakah aku sedang dekat dengan seorang pria atau tidak, jelas aku tak bisa menutup-nutupi faktanya.

“Selesaikan saja dulu kuliahmu.” Ucapnya kemudian.

Ibu sepertinya tidak bisa lagi percaya padaku, sejak kejadian-kejadian masalaluku yang sempat membuatnya kecewa itu. Aku tak bisa bernegosiasi dengan itu. Aku berhadapan dengan orang yang telah aku kecewakan dan sedang mecoba untuk percaya lagi padaku. Saat ini yang ia inginkan hanyalah aku yang ia yakini bisa merealisasikan mimpi-mimpinya yang mungkin belum terwujud, aku sendiri tak terlalu faham dan tak pernah ingin menanyakan apa yang ia harapkan dariku untuk kuwujudkan.
“Buatlah nyata mimpi-mimpi yang kau yakini bisa kau wujudkan itu. Ibu mendukung saja. Toh, kamu kan keras kepalanya sama seperti Bapakmu. Tak ada yang Ibu inginkan kamu kasih selain turuti nasehat Ibu, dan jangan ada dusta diantara kita. Bisa?”
Aku tertawa saja.
“Bagaimana? Bisa?” Tanya Ibu lagi.

Saudara-saudara Ibu adalah pekerja keras. Yaitu mereka yang mengesampingkan waktu tidurnya untuk bermesra-mesraan dengan pekerjaan hingga melahirkan anak bernama uang. Mungkin Ibu tak ingin kalah juga dengan mereka, makanya ia ingin bersaing lewat aku. Rasanya itu tak adil untukku, seharusnya aku bisa bebas melakukan apapun yang kumau. Aku sering risih kalau ibu bertanya “kalau udah lulus nanti, kamu kerjanya kerja apa?” aku kuliah jurusan Sastra Inggris yang kebanyakan orang bahkan saudaraku beranggapan bahwa aku akan menjadi seorang guru Bahasa Inggris nantinya. Tapi, jadi guru? Tak pernah menjadi keinginanku sama sekali walaupun Bapak adalah seorang guru sekalipun.

Aku menjawab bahwa aku belum tahu akan bekerja dimana, kemudian Ibu bilang jadi guru saja. Pokoknya nanti apa-apa dia yang urus biar cepat jadi PNS seperti anak keponakannya yang begitu lulus sudah jadi Pegawai Negeri saja dengan modal uang seratus juta. Sesederhana itu. Tapi aku tak berpikir sesederhana itu. Jika jadi PNS saja tinggal modal uang seratus juta, lalu kenapa aku harus kuliah mati-matian selama 4 tahun? Mengerjakan tugas-tugas yang tak tahu diri, bertemu pengajar-pengajar yang tak amanah, sampai nanti harus menyusun skripsi sebagai syarat jadi sarjana? Kenapa tidak bayar saja seratus juta lalu aku dapat predikat sarjana? Toh, uang yang dikeluarkan selama aku kuliah dan hidup juga mungkin sampai diangka segitu. Tapi kata-kata itu tak pernah keluar dari mulutku. Lagi-lagi aku tak ingin berdebat dengan perempuan yang dengan peluhnyalah aku masih bisa tetap menghirup oksigen.

“Bisa.” Jawabku.
“Bisa apa?” tanyanya meledek.
“Bisa gak aku cari Ibu lain saja?”

Ibu tertawa saja.

“Bagaimana, Bu?”
“Apanya?”
“Bila aku ingin cari Ibu baru saja kalau Ibu terus menyebalkan seperti ini?”
“Cari saja. Tapi kamu masuk lagi kedalam rahim Ibu barumu itu biar ia juga ngerasain bagaimana dulu perutku penuh dengan kamu didalamnya, bagaimana aku mencuci celana dalammu yang penuh tahi dan mencebokimu sesudah berak.”
Selain menyebalkan, Ibuku orangnya juga jijik-an.
“Hehehe,” aku malu sendiri.

Ibu tetaplah ibu yang egois. Rasanya aku ingin punya Ibu baru saja. Yang lebih keren dan kekinian. Yang jalan pikirannya mungkin sama dengan pikiranku. Sempat aku berpikir mungkin Ibu juga dididik seperti ini dulu oleh nenek, dan Ibu juga berpikir apa yang saat ini aku pikirkan saat ia seumurku. Lama-lama aku jadi tahu –berdasarkan cerita ibu juga, kalau dulu nenek orangnya pilih kasih dan Ibu termasuk bukan anak yang terpilih untuk dikasih kasih yang lebih. Mungkin setelah itu ia jadi si anak kesepian yang keras kepala itu, yang pergi ke kota lain untuk mempertahankan hidupnya, berharap menemukan ‘kasih yang lebih’ yang tak ia dapatkan semasa bocah dulu. Dan kini, akulah si anak kesepian itu.

…Bagaimana mungkin aku tak menuruti keinginan sederhananya itu, sementara yang ia ingin aku lakukan adalah “jangan dulu punya hubungan dengan lelaki manapun dan jangan pulang lebih dari jam delapan malam”. Masihkah aku ingin tawar-menawar dengan perempuan yang tak pernah menawar kepada Tuhan sama sekali ketika rahimnya harus membungkus janin selama 9 bulan, mengeluarkan si jabang bayi dengan mempertaruhkan hidup dan matinya, membesarkannya dengan susah payah hanya untuk kemudian pernah dibuat kecewa? Aku tak akan tega. Untukmu Ibu, walaupun kita sering bersama dalam hening, tapi ada banyak kata-kata yang tak berhasil terucap oleh mulut kita masing-masing, mungkin hati telah ucapkan.

Menjadi dewasa dan tua memang menyebalkan. Bagaimana tidak, ketika bocah aku hanya takut kehilangan satu orang yaitu Ibu, Bapak setelahnya. Sekarang, aku harus membagi-bagi hati dan pikiran untuk kehidupan baru yang akan segera kumulai. Masa depanku. Begitu pula aku akan mulai tak ingin kehilangan apapun yang sudah tersimpan dihati nantinya, seperti dulu aku tak ingin ditinggalkan Ibu.
“Begitulah hidup, ada kelahiran juga harus ada kematian, menyebalkan memang, tapi memang begitu aturan mainnya.” Ucap Ibu kemudian.


Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

You Might Also Like

1 komentar

Labels

Followers