Ingatan dalam sebuah kamar

Friday, April 03, 2015

Kamar itu sudah kosong lagi. Tak ada tanda-tanda manusia di dalamnya. Pintunya tak ia kunci, itu anehnya. Mungkin lupa ia. Aku sendiri kaget, kukira masih ada manusia di dalamnya dan kemudian aku kepergok memasuki kamarnya mengendap-ngendap. Sebab sudah lama aku ingin masuk ke kamar ini. Kamar di mana ia biasanya meditasi. Atau semacamnya. Kurang tahu aku apa yang ia kerjakan seharian di sini.

Biasanya aku marahi ia karena seharian gak keluar kamar. Perawan kok tidur terus kerjaannya, mbokya main ke luar, lihat dunia, di kamar terus gak akan dapet apa-apa toh ndo, omelku suatu siang. Tapi ia telah tuli. Entah pura-pura tuli. Diam-diam aku sumpahi ia biar benar-benar tuli. Omelku ia anggap karbondioksida yang kalau masuk kerongkongan bisa bikin keracunan. Ia memang kurang ajar, tapi siapa yang kurang mengajari? Akukah?

Temboknya ia cat biru. Bapaknya ia suruh buat nge-cat, duit buat beli cat ia tanggung sendiri. Bahkan, bapaknya ia kasih upah juga. Bapaknya nerima saja. Malah senang dapat rezeki setelah bertahun-tahun gak nyium bau duit hasil peluh. Birunya telah jadi kumal, memang sudah berbulan-bulan aku tak masuk ruangan ini. Di sudut pojok kanan tempat meja belajar bergambar mickey mouse –yang gambarnya sudah hilang terletak, pemberianku waktu ia tiba-tiba jadi senang membaca. Lima tahun yang lalu seingatku. Meja belajar itu sudah agak sedikit bobrok, kugeser sedikit saja kakinya sudah goyang-goyang, telah mengenyangi perut rayap bertahun-tahun rupanya. Sama seperti yang punya yang telah berbeda sama sekali sejak lima tahun lalu. Buku-buku miliknya pun sudah menggunung. Berceceran di lantai, di bawah ranjang yang belum dirapikan, di bawah bantal dan selimut yang acak-acakan. Pantas belakangan ia jadi rajin pergi-pergi. Ngumpulin duit buat beli rak buku, bilangnya. Ia memang tak pernah minta-minta duit sama bapaknya, tapi kadang ngambil tanpa sepengetahuan. Sialnya, aku tahu. Kubiarkan saja.

Kalau pergi-pergi, dia pasti pamit, tapi gak pernah bilang mau ke mana. Lalu pulang larut. Lalu kumarahi, ia takluk. Lalu besok ia ulangi lagi. Ia memang pembangkang. Ia memang keras kepala. Tapi aku tahu diri. Lima tahun yang lalu masih jadi anak yang menyenangkan ia. Biasanya cerita kalau di sekolah ia dapat hukuman guru karena pakai rok di atas lutut. Loh bukannya kamu pakai rok panjang dari rumah, kenapa bisa jadi pendek begitu, aku sewot. Kan aku ganti di wc sekolah, bu, jawabnya enteng. Kumarahi ia, ia cekikikan.

Kadang aku rindu juga. Tapi aku tahu diri. Lima tahun lalu masih jadi anak yang manis ia. Biasanya aku cerita apa pun padanya, tentang tetangga yang berantem terus sama suaminya, tentang anak pak Suryaman yang tiba-tiba udah punya anak tanpa tahu kapan nikahnya dan gak tahu mana suaminya, tentang nenek-nenek pikun yang belanja ke warungku dan nawar harga ini-itu gak pake otak. Meski tak pernah ngasih solusi, biasanya ia mendengarkan saja. Dan itu sudah membuatku merasa dihargai. Terkadang kita hanya ingin didengar, respon kadang kita tak ingin dengar.

Ingin aku ngobrol-ngobrol tentang Bapaknya seperti lima tahun lalu. Tapi aku tahu diri. Seorang pedagang seperti aku mana nyambung ngobrol sama ia. Bacaannya aja buku-buku filsafat, sastra dan apa lah aku gak ngerti juga. Jadinya aku malu sendiri, kalau ia udah omongin hal yang aku mana ngerti. Lah ya aku seharian gaulnya sama orang pasar, menunggui warung dan meladeni pembeli, mana sempet ada waktu untuk baca-baca buku filsafat macam begitu itu. Tapi, kadang aku rindu juga. Anakku itu, kok ya gak jelas kerja apa, tapi banyak duit. Seminggu lalu baru ia beli kursi tamu di rumah. Kuterima saja, toh kursi tua yang kalo diduduki berjawab nyrit-nyrit itu juga sudah ingin pensiun diduduki bokong-bokong peot kami.

Dua puluh tahun ia telah hidup, baru kusadar ia telah dewasa kini. Mungkin dalam proses. Jika kedewasaan membuatnya jadi jauh, aku tak ingin ia dewasa jadinya. Ia sungguh menyebalkan dan sinis. Sinis akan segala sesuatu. Sesuatu yang ia tuliskan dalam buku diarinya kini. Aku baru tahu juga ia jadi suka menulis diari. Dulu ia bilang menulis diari itu terlalu sentimentil. Kubilang ia sudah banyak berubah. Terkadang aku rindu juga. Tapi aku tahu diri.

9 Desember, 2014
Kenapa harus senyum kalau hati ingin mendengki? Bukankah itu membohongi diri? Kalu tak suka kenapa harus tetap ditemani? Bukankah meninggalkan akan selesai semua urusan?

15 Desember 2014
Hari ini aku tak akan tersenyum lagi, kecuali kalau ingin. Kecuali kalau hati ingin. Sejak itu aku disebut si sombong yang tak punya apapun untuk disombongkan. Bukankah itu naïf? Aku bahkan tak mengerti arti kata naïf.

29 Desember 2014
Temanku bilang cara berpikirku terlalu konvensional. Dia tuduh aku terlalu sinis. Dia sebut aku terlalu naïf. Dia kata aku harus belajar cara tersenyum. Meski hati tak ingin. Belajar cara menghargai meski hati mendengki. Ia ahlinya.

20 Januari 2014
Lalu ada orang yang kerjaanya ngomongin orang terus, ngomentarin orang terus, nilai orang terus, apa ia sendiri sudah bernilai? Masa kita harus bernilai dulu baru boleh nilai orang, ya bebas-bebas aja dong nilai orang itu, kata seorang teman.

28 Januari 2014
Aku banyak bertemu orang cerdas, tapi tak ada yang bisa berhenti membicarakan pencapaiannya. Lalu apakah manusia yang tidak sombong itu sudah punah? Atau memang mereka tak pernah ada? Hanya mitos? Sebab aku tak pernah diketemukan dengan salah satunya.

Umurnya dua puluh. Ia telah baru mengecap bagaimana hidup yang sebenarnya. Yang isinya bukan hanya tentang ia, bapak dan adiknya serta aku. Yang isinya tak sebesar kamar miliknya. Ia telah mulai muak dengan manusia. Dengan sifat-sifatnya yang kadang ia tak mengerti. Mengapa begini mengapa begitu, mengapa harus begini sementara bisa begitu. Lima tahun lalu ia masih jadi anak yang menyenangkan, lima tahun setelahnya ia telah muak dengan segala yang manusia senangkan. Sebab ia telah sedang memaknai hidup. Sebab ia telah sedang mencari jati dirinya. Kadang aku rindu juga. Tapi aku tahu diri. Menunggui ia kembali dari pencariannya. Sebab hidup adalah tentang pencarian dan penemuan. Bukan soal benar atau salah, bukan soal boleh atau tidak. Tapi tentang penyesuaian diri. Adaptasi. Dunia tak bisa menjadi sekemaumu, kamu yang harus jadi maunya dunia.


You Might Also Like

0 komentar

Labels

Followers